JURNAL TEKNOLOGI INFORMASI



Kita selalu mendambakan kesederhanaan dari teknologi informasi, tetapi sering kali kita tidak mendapatkannya.”

Sebagian besar dari teman-teman tentu masih ingat pada fenomena Mak Erot yang sampai-sampai dibikin film komedi. Atau, kita semua tentu tahu mengenai fenomena dukun cilik Ponari. Dari berbagai fenomena ini dan yang serupa lainnya, muncul sebuah pertanyaan, mengapa sesuatu yang sudah jelas tidak berhasil (bahkan secara medis tidak dapat dipertanggungjawabkan), masih terus laku. Pada akhir pemikiran, fenomena ini menyadarkan bahwa menjual mimpi memiliki daya jual yang sangat kuat (begitu kuatnya sampai bisa mengalahkan akal sehat). Dan ternyata, kalau mau melihat lebih jauh, teknik penjualan seperti ini telah banyak diterapkan pada berbagai bidang dan profesi, mulai dari tukang obat jalanan sampai pada politisi kelas atas, termasuk perusahaan pemasok TI.

Mimpi terbesar dalam dunia TI, saya dapat katakan adalah kesederhanaan. Melalui teknologi kita semua berharap hidup kita menjadi lebih sedehana dan lebih mudah, khususnya teknologi informasi. Sayangnya, sering kali semuanya hanyalah sebatas mimpi. Sebuah mimpi yang membuat kita membeli produk dan menganut paham teknologi tertentu. Padahal, kenyataan saat ini tidaklah seindah mimpi. Teknologi TI sekarang ini masih sangat kompleks (terutama bagi pengguna pemula), ambil contoh komputer dengan beragam konsep dan softwarenya.


KONSEP. Salah satu konsep yang mengganjal para pemula adalah saving, sebuah konsep peninggalan beberapa dekade silam saat media penyimpanan masih superduper lamban dan komputer belum multitasking. Bayangkan saja, agak sulit untuk membuat para pemula menerima bahwa: apa yang diketik di layar, sudah dapat dilihat oleh mata, sebenarnya belum benar-benar “ada” sampai di-save. Rata-rata juga sulit untuk mengingatkan mereka supaya rajin melakukan save. Kita masih harus melakukan tindakan save ini karena banyak program juga belum memiliki fitur autosave.

Konsep lain yang juga dinilai membingungkan bagi pemula adalah folder atau direktori. Banyak di antara mereka yang hanya tahu menyimpan dokumen, tapi tidak tahu di mana (atau ke mana mereka akan mencari dokumen yang telah mereka simpan). Jangankan ditanya di folder mana, beberapa dari mereka juga tidak tahu apa itu hard drive apalagi untuk menjelaskan apa itu partisi drive. Mereka kadang hanya tahu satu hal: “menyimpan di komputer”.

SOFTWARE. Kalau berbicara tentang software, kita sama-sama tahu bahwa operating system seperti windows atau linux, maupun aplikasi seperti microsoft office atau open office, adalah software yang sangat kompleks, dibangun dari ratusan juta baris source code, memiliki ratusan fitur, dan (tentunya) ribuan bug. Penggunanya harus berjibaku meski sekedar untuk menguasai dasar penggunaannya saja. Belum lagi menguasai secara mahir penggunaan software-software ini, mereka sudah dibuat pusing dengan serangan spam, virus, atau malware lain dengan memanfaatkan bug yang dimiliki software dalam komputernya.

Java adalah contoh lainnya. Janji yang di usung oleh Java sebenarnya memberikan harapan akan dunia yang lebih sederhana dengan kehadiran bahasa pemprograman yang portable, aman, siap jaringan, dan bisa dipakai menggantikan bahasa tingkat rendah sekalipun. Kenyataannya, dari Java lahir banyak standar yang ribet. Impian akan portabilitas sepertinya semu, dan slogan “compile once run everywhere” ternyata menghasilkan “debug everywhere”.

Ada lagi yang terbaru, Windows 7. Setelah kehadiran Windows Vista yang kurang mendapat apresiasi pasar, Microsoft mengumumkan akan meluncurkan versi Windows terbaru yang menggunakan kernel baru yang kecil, MinWin. Di luar alasan teknis, sepertinya ini adalah respon dari adanya penolakan pasar terhadap tingkat kompleksitas yang tinggi. Mungkin sudah saatnya kembali menjual mimpi kesederhanaan pada pelanggan mereka. Sebuah mimpi betapa Windows yang baru nanti akan lebih kecil, lebih ringkas, dan tentunya lebih sederhana dari pada versi sebelumnya.

Sebuah kenyataan bahwa manusia selalu mengharapkan kesederhanaan. Bisa jadi memang disebabkan oleh otak manusia memiliki keterbatasan kapasitas dalam memproses informasi dengan tingkat kompleksitas maksimum tertentu pula. Di atas tingkat kerumitan tertentu, kita tidak dapat lagi memahami sesuatu “di luar kepala”. Semakin banyak hal yang kompleks, maka semakin terkuras kapasitas otak kita memahaminya. karena itu kita selalu mencari hal yang sederhana agar masih leluasa memahami hal lainnya.

Padahal dalam perkembangannya, segala sesuatu menjadi semakin kompleks. Jumlah transistor dalam chip telah meningkat dari 2.300 tahun 1971 menjadi setidaknya 2 milyar sekarang ini. Performa sebuah processor tidak lagi mengandalkan peningkatan clock speed, melainkan telah berubah menjadi multicore, sesuatu yang menuntut pemprograman multithreadhing (rasanya tidak perlu dijelaskan betapa repotnya pemrograman multithreadhing).

Sayangnya memang banyak produk TI yang tidak bisa menyembunyikan kompleksitas dari para penggunanya. Jadi, saatnya para vendor TI berhenti hanya menjual mimpi seperti penjual obat jalanan atau politisi, tetapi berusaha lebih keras mewujudkan impian akan teknologi informasi yang sedehana bagi kita para penggunanya.

[ inspirasi dari Steven Haryanto (analis system dan pemerhati security) dalam artikel

copy paste dari : www.jurnalkampus.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar